Amalia Istighfarah
Nasib Pendidikan di ujung Tanduk

Di ujung tanduk” kira – kira istilah seperti itulah yang menggambarkan dunia pendidikan di tanah air dewasa ini. Dunia pendidikan masih menjadi sasaran kritik yang paling disoroti. Berbagai langkah yang dilakukan pemerintah dalam membenahi pendidikan nasional belum maksimal. Ini ditengarai oleh kebijakan pemerintah yang kurang dipikirkan secara matang dan instant. Sehingga bukan hal yang mengherankan jika pendidikan nasional belum mengalami kemajuan.

Itu terlihat pada tahun 2005, HDI Indonesia menduduki peringkat 110 dari 177 negara di dunia. Bahkan peringkat tersebut semakin menurun dari tahun-tahun sebelumnya. HDI Indonesia tahun 1997 adalah 99, lalu tahun 2002 menjadi 102, kemudian tahun 2004 merosot kembali menjadi 111 (Human Development Report 2005, UNDP). Jauh tertingggal dari Malaysia, Thailand dan Singapore.

Ini menandakan bahwa berbagai masalah krusial menyangkut pendidikan belum juga bisa terselesaikan. Masalah tersebut antara lain :


Dikotomi fasilitas dan mutu pendidikan

Terjadi dikotomi yang sangat mencolok antara lembaga pendidikan di perkotaan dan di daerah pinggiran. Keberhasilan di bidang pedidikan akan sangat sulit tercapai bila pemeratan fasilitas belum menyeluruh. Pemerintah cendrung memberikan perhatian khusus kepada sekolah diperkotaan saja. Itu dapat dibuktikan dengan gedung – gedung sekolah yang kokoh dan bagus. Jauh berbeda dengan sekolah yang berada dipinggiran yang sebagian besar hampir roboh gedungnya dan tidak layak lagi digunakan.

Padahal proses belajar mengajar sangat bergantung pada layak tidaknya fasilitas yang tersedia. Bila dikotomi seperti ini belum bisa terselesaikan tidak tertutup kemungkinan akan terjadi kesenjangan sosial yang bisa memicu kekisruhan.


Lembaga pendidikan sebagai lahan komersialisasi

Berbagai perkembangan telah mengakibatkan terkikisnya hakikat pendidikan. Pendidikan yang semula berfungsi sebagai kerangka sosial agar manusia hidup bermartabat. Kini dimengerti sebagai sistem sosial yang berevolusi secara perlahan tapi pasti menanggalkan misi profetik penguatan kesadaran kebangsaan. Persoalan besar ini tertanam ke dalam strategi liberalisasi pendidikan nasional yang selanjutnya mengondisikan pendidikan semata sebagai komoditas (Kompas, 28 Agustus 2007, hlm.1).

Dalam Peraturan Presiden Nomor 77/2007 yang mengizinkan masuknya modal asing di dunia pendidikan dengan batasan kepemilikan saham hingga 49%. Merupakan pertanda bahwa perspektif ekonomi begitu kuat merasuki pengelolaan dunia pendidikan. Hal ini jelas semakin memuluskan terjadinya imprealisme pendidikan secara tidak langsung. Ditambah lagi rencana pemerintah memprivatisasi pendidikan. Tekanan utang yang semakin memberatkan, memaksa pemerintah untuk memangkas dana APBN dari sektor yang menyerap pendanaan paling besar. Pendidikan lah yang akhirnya dikorbankan

Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan tersebut dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP), Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk mencari modal sendiri.

Legitimasi komersialisasi pendidikan akan berdampak pada semakin sulitnya masyarakat menengah kebawah mengakses pendidikan. Hal tersebut dikarenakan. sekolah- sekolah akan menetapkan biaya setinggi mungkin. Dengan alasan memperbaiki mutu pendidikan. Inilah bentuk pendidikan kolonialisme yang masih melekat dalam pendidikan nasional sekarang.


Terbelakangnya mutu tenaga pengajar dan metode belajar

Guru merupakan ujung tombak dari proses pembelajaran di sekolah. Harus diakui bahwa guru memiliki peranan signifikan dalam membangun karakter anak didiknya. Sehingga dituntut harus memiliki kualitas yang baik. Akan tetapi pada kenyataanya Kualitas guru sangat jauh dari yang diharapkan. Di samping itu masih ada guru yang kurang bertanggung jawab dalam menjalankan tugasnya. Berkaca pada Proses Belajar Mengajar (PBM) saat ini, guru agaknya kurang termotivasi dalam mengajar. Hal tersebut didukung oleh beberapa kebiasaan guru yang kurang tepat dalam mengajar antara lain : Masih ada yang guru masih malas untuk masuk ke kelas. Seandainya masuk pun, adakalanya selesai lebih awal dari waktu yang dijadwalkan. Atau terkadang tidak mengajar karena terdesak kerja sambilan.

Selain itu karena kurang menguasai materi dan malas menjelaskan materi. Guru biasanya memberikan tugas merangkum materi pelajaran. Melalui metode seperti ini siswa dianggap lebih cepat memahami materi tanpa perlu dijelaskan lagi. Sehingga ketika diadakan evaluasi, siswa mampu menjawab dengan benar. Padahal pada kenyataanya tidak semua siswa dapat menguasai materi pelajaran cukup hanya dengan merangkum. Sebab siswa memiliki kemampuan mencerna materi berbeda - beda.

Kebiasaan lainnya, yakni memanfaatkan otoritas sebagai guru dengan bersikap keras kepada siswa. Atau bahkan terkadang bisa lebih parah lagi dengan menggunakan kekerasan fisik (bullying). Tujuannya agar siswa menjadi takut untuk berulah lagi dan menurut. Namun hal tersebut justru menyebabkan siswa semakin membangkang.

Dengan demikian wajar saja bila para generasi penerus sekarang cendrung memburuk kualitas SDM – nya dan kurang memiliki budi pekerti yang baik. Mereka tidak dibiarkan berkembang sesuai dengan minat mereka. Metode pengajaran yang ada kurang memberi ruang gerak bagi siswa untuk berkreasi. Siswa cendrung dituntut harus mampu memperoleh nilai akademik yang bagus. Padahal nilai akademik yang bagus bukan jaminan siswa itu berhasil. Karena hanya berorientasi pada nilai semata siswa terkadang menjadi tidak jujur. Melakukan segala cara seperti mencontek untuk mendapatkan hasil yang baik. Metode pengajaran seperti ini jika dibiarkan terus menerus bisa merusak potensi para generasi muda.


UN sebagai tolak ukur kelulusan

Jika ditelaah lebih lanjut, Ujian Nasional telah merampas hak pedagogis para guru dalam menentukan kelulusan. Mereka yang mengetahui seluk-beluk mengenai murid, tapi kemudian justru pemerintah yang memutuskan siapa yang berhak atau tidak berhak lulus. Intervensi tersebut jelas menggambarkan rendahnya kadar kepercayaan pemerintah terhadap guru.

Selain itu melalui kebijakan ujian nasional, daerah dan sekolah dipaksa membenarkan asumsi pemerintah. Padahal kondisinya tidak memungkinkan untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pelayanan pendidikan di daerah umumnya masih buruk. Karena itu, dipilih cara instan dengan melakukan berbagai praktik kecurangan. Apalagi hasil ujian nasional juga mempertaruhkan citra daerah dan sekolah. Dengan demikian, ujian nasional sudah tidak lagi berhubungan dengan kepentingan pendidikan, tapi telah menjadi alat untuk mencapai kepentingan politik. Satu sisi bisa memuaskan kebutuhan pemerintah pusat, pada sisi lain mempermanis wajah birokrasi daerah supaya dianggap berhasil memajukan pendidikan.

Untuk melaksanakan Ujian Nasional itu sendiri dibutuhkan banyak biaya hingga bermilyar – milyar. Dana yang cukup besar bila digunakan memperbaiki faslitas –fasilitas seperti gedung sekolah yang rusak. Ini menandakan pemerintah agaknya lemah dalam mengatur prioritas program yang harusnya dilakukan. Pelaksanaan UAN jelas belum tepat jika fasilitas pendidikan di Indonesia sendiri sebagian besar belum memadai.

Adapun alternatif langkah penyelesaian terhadap berbagai masalah pendidikan tersebut antara lain :

  1. Merealisasikan anggaran pendidikan sebesar 20 %

Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi, “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”, maka tidak akan membuka adanya kemungkinan penafsiran lain selain bahwa negara wajib memprioritaskan anggaran pendidikan dalam APBN dan APBD dengan prioritas dimaksud haruslah sekurang-kurangnya 20% (duapuluh persen) dari APBN serta dari APBD.

Dengan demikian jelas bahwa anggaran pendidikan harus menjadi prioritas utama dalam APBN. Bukan justru dikorbankan untuk menutupi utang negara atau membiayai sektor lain. Pemerintah harusnya lebih meninjau dan memperketat anggaran pejabat yang biasanya diperuntukan untuk kenyamanan pribadi semata. Padahal fasilitas yang telah dimiliki para pejabat saat ini jauh mencukupi.

. Jika nantinya anggaran 20 % bisa terimplementasi dengan baik tanpa ada unsur korupsi didalamnya, maka akan memperkecil kemungkinan lembaga pendidikan dijadikan lahan komersialisasi. Selain itu pemerataan fasilitas pendidikan hingga ke pelosok tanah air perlahan bisa tercapai. Tenaga pengajar dan guru mendapatkan tunjangan yang cukup sehingga bisa lebih termotivasi lagi dalam mengajar. Dan tentunya memberikan kesempatan bagi masyarakat menengah ke bawah untuk mengakases pendidikan.

  1. Mengaktualisasi sistem pendidikan

Dengan bercermin pada Finlandia, sebuah negara kecil di kawasan Skandinavia yang memiliki kualitas pendidikan tingkat satu di dunia. Negara ini hanya menerapkan waktu belajar 30 jam per minggunya, dan hampir tidak pernah memberikan tambahan les di luar jam pelajaran, serta memberikan Pekerjaan Rumah (PR) berlebihan atau menerapkan disiplin ala militer.

Fergus bordewich dalam Top of the Class menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang membuat pendidikan di Finlandia bisa menduduki peringkat satu di dunia:

Dari segi anggaran pendidikan, pemerintah Finlandia menyediakan dana pendidikan yang sangat tinggi bagi warganya. Sistem politik yang berjalan di Finlandia sangat bagus, sehingga mampu mengelola anggarannya dengan baik. Selain itu Negara ini bersih dari praktek korupsi. Selain itu Negara ini bersih dari praktek korupsi.

Dari segi kualitas guru, di Finlandia hampir seluruhnya terdiri guru dengan kualitas terbaik dan terlatih. Meski gaji mereka tidak besar namun profesi guru merupakan sebuah prestisius di sana. Puncak kebanggan mereka adalah apabila berhasil mendidik anak didik. Bukan karena berhasil memanipulasi nilai siswa atau baru mendapatkan persenan dari hasil pembagian laba menjual buku kepada para siswa. Seorang guru di Helsinski akan mengatakan, ” Kalau saya gagal dalam mengajar seorang siswa itu berarti ada yang tidak beres dengan pengajaran saya.”

Ini berarti seorang guru di Finlandia adalah seorang pendidik yang benar-benar bertanggung jawab. Minimal ia bertanggung jawab pada kelanjutan masa depan anak didiknya. Nilai siswa sama sekali tidak dianggap penting olehnya.

Guru di sana bebas menggunakan metode kelas apapun, dengan kurikulum yang mereka rancang sendiri, dan buku teks yang mereka pilih sendiri.
Ujian bukan sesuatu yang utama di sana. Ujian hanya ditujukan untuk mengetahui kualifikasi siswa di universitas

Para guru juga disarankan untuk menghindari kritik terhadap pekerjaan siswa, tetapi diperbolehkan meminta para siswa untuk membandingkan hasil belajar mereka dengan nilai sebelumnya. Dengan demikian diharapkan para siswa akan menyadari sendiri kekurangannya dan tergerak untuk memperbaiki dirinya.

Dari segi kualitas siswa, sejak dini siswa – siswa di Finlandia telah diajarkan untuk bertanggung jawab mengevaluasi dirinya sendiri. Mereka didorong untuk bekerja secara individu tak peduli seperti apapun hasilnya. ”Ini membantu siswa belajar bertanggung jawab atas pekerjaan mereka sendiri.” kata Sundstrom, seorang Kepala Sekolah di sebuah Sekolah Dasar di Poikkilaakso, Finlandia.

Prestasi siswa-siswa di Finlandia terletak pada proses bukan dari hasil akhir. Yang terpenting murid telah menunjukkan hasil usahanya. Hal itu sudah sangat cukup Karena setiap murid memiliki kemampuan yang berbeda – beda dalam memahami dan mengerjakan sesuatu. Contohnya jika ada Pekerjaan Rumah (PR) misalnya, mereka tidak harus mengerjakannya secara sempurna.

Tekanan dari pihak sekolah kepada para siswa baru akan diberikan jika hal itu berkaitan dengan masalah-masalah keaktifan masuk sekolah, kedisiplinan waktu, persiapan buku-buku pelajaran, dan kejujuran.

Indonesia memang tidak harus mengadopsi sistem pendidikan tersebut seluruhnya. Namun akan lebih baik jika bisa setara dengan itu. Memang dibutuhkan waktu dan proses yang lama untuk memperbaiki sistem pendidikan nasional sekarang ini. Bukan saatnya lagi pemerintah mengulur – mengulur waktu dengan memperdebatkan APBN. Mutlak kewajiban pemerintahlah dalam menyediakan sarana dan prasarana pendidikan.

Peran serta pemerintah merupakan bagian dari pelayanan terhadap masyarakat dalam hal mencapai tujuan nasional yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan demikian dari perubahan tersebut akan melahirkan peserta didik yang berkualitas sehingga mampu memegang peranannya sebagai generasi penerus bangsa yang akan membawa pada kemajuan. Serta memiliki budi pekerti luhur. Melalui pendidikanlah kita bisa memperbaiki kualitas bangsa. Kemajuan suatu negara bisa dicapai apabila memiliki kualitas pendidikan yang bagus. Untuk itulah, kita sependapat kualitas pendidikan harus dipacu dengan konsisten dan bagian integral dalam pelaksanaan pembangunan nasional.

****


Sumber : http://budakfisika.blogspot.com

http://www.antikorupsi.org/mod.php?mod=publisher&op=viewarticel=8421

www.kabarindonesia.com

genetto.getforum.org


Amalia Istighfarah
kota dimana aku akhirnya bertemu dengan orang - orang baru. Dengan beragam karakter. Memiliki berbagai ideologi. Sungguh,,di sini aku mendapatkan banyak pengalaman. Banyak ilmu dan pengtehuan baru. Semua fasilitas di sini tersedia. Agaknya julukan sebagai kota Pendidikan memang pantas untuk jogja. Tidak cuma itu saja. Kebudayaan di Jogja ini masih sangat kental. Aku merasa sangat beruntung bisa melanjutkan sekolah di sini. Asalkan ada niat yang kuat dan kerja keras. Jogja bisa membantu mewujudkan keinginan kita.

Setelah sekian lama kurang lebih 11 tahun aku terkurung dalam kota keci. Kini saatnya aku mengembangkan potensi diriku. Kini saatnya ku menggali semua yang ada dalam diriku. Kesempatan tidak datang dua kali. Takkan ku sia - siakan perjuangan ayah yang telah membanting tulang untuk biaya kuliah ku di sini. Semua mengharapkan yang terbaik.

Jogjaku yang berhati nyaman..
keramahan yang khas. Yang kurasa akan sangat jarang ditemui di daerah - daerah lain. Aku cinta jogja ku.
Label: 2 komentar | | edit post